Saturday, August 19, 2006

Infotainment: Rabun Jauh Industri Media

Menyimak wacana tentang halal - haram infotainment, saya kutipkan tulisan wartawan senior Farid Gaban yang dimuat di Koran Tempo, edisi Minggu 29 Agustus 2004
----------

Infotainment: Rabun Jauh Industri Media
"Soft journalism" – musuh bisnis, musuh demokrasi pula.

Farid Gaban -- Pena News Service & Syndicate

Haruskah kita peduli pada siapa suami berikut NickyAstria atau Wulan Guritno? Bagaimana Ray Sahetapi atau Parto bertemu istri kedua? Apa merek mobil terbaru Kris Dayanti atau berapa nomor kutang Sarah Azhari?

Banyak orang nampaknya merasa menjadi kuno jika tidak mengikuti berita tentang para selebriti hingga kesudut hidupnya yang paling pribadi. Acara infotainment di televisi banyak digemari, mencatat rating tinggi, mendatangkan banyak iklan--dan memperkaya pemilik televisi dalam prosesnya. Tak heran jika seperti candu, berkah infotainment mendorong televisi mengeksploitasinya hingga ke dosis memabukkan dan menjamah wilayah pribadi yang paling jauh.

Ada insentif bagi wartawan infotainment untuk menciptakan bintang. Dan lebih besar lagi insentif bagi mereka untuk memanen apa yang sudah mereka tanam: kehidupan pribadi para bintang. Semuanya terjadi dalamspiral aksi-reaksi menuju klimaks sampai kita menemukan fakta yang begitu absurd: pelawak Parto merasa perlu meletuskan tembakan peringatan karenamerasa diteror kejaran wartawan infotainment--wartawan yang pada sisi lain berjasa melambungkan orang sepertidia masuk ke status sosial tinggi dalam feodalisme baru di zaman televisi.

Sekarang ini ada 11 stasiun televisi swasta yangbersaing menembakkan rudal tayangan infotainment kerumah-rumah kita. Sebut saja acara Cek & Ricek (RCTI),Kiss (Indosiar), Hot Shot (SCTV), Cuci Mata (TV7),Insert (TransTV) dan Selebriti Update (TPI). Sepertidikutip Majalah Gatra belum lama ini, Ilham Bintang,salah satu pionir infotainment Cek & Ricek,memperkirakan setidaknya ada 45 mata acara sejenis iniyang mencaplok lebih dari 100 jam tayang di seluruh televisi setiap pekannya—-durasi yang lebih panjang dari segmen berita pada umumnya.

Media cetak tak mau ketinggalan. Di samping muncul majalah dan koran hiburan baru, media dari kelas yangsudah mapan pun mulai memperluas rubrik selebriti.Alasan yang sering dikemukakan untuk membenarkan trend ini adalah publik menyukainya (dan bukankah tugas media melayani publik?).

Tapi, sebenarnya ada alasan yang sangat jelas, meski cenderung disembunyikan: uang. Pemilik televisi rinduakan rating yang identik dengan masuknya iklan,sementara media cetak kian tersudut oleh betapaefektifnya pesaing dari media elektronik menggerogotipemasang iklan tradisionalnya. Pemilik media juga pekaterhadap ongkos liputan yang mahal, sementarainfotainment bisa diproduksi sangat murah dengankualitas liputan yang longgar dan dilakukan olehwartawan yang tidak paham (atau tidak peduli) padakode etik jurnalistik.

Parto atau Nicky Astria mungkin layak memperoleh simpati sebagai korban agresi wartawan infotainment yang mencabik privasi mereka. Tapi, korban sebenarnya dari obsesi media terhadap infotainment adalah publik,pemirsa dan pembaca.

Mabuk infotainment sekarang ini menyorongkan setidaknya dua pertanyaan penting: Benarkah infotainment akan menyelamatkan media secara bisnis,terutama dalam jangka panjang? Apa harga sosial yangharus dibayar oleh publik untuk memuaskan keuntungan pemilik media?

Situasi industri media di Indonesia seperti ini sebenarnya tidak unik. Dalam dua tahun ini kitasebenarnya sedang meniru trend yang sudah berlangsung dalam industri media di Amerika selama dua dasawars aterakhir. Dipicu ketatnya persaingan serta dihadapkan fakta menurunnya jumlah pembaca dan pemirsa secaratotal, media di Amerika mengadopsi secara masif resepbaru: infotainment, berita sensasional selebriti, tayangan mistis, paranormal, reality show, dan dosis tinggi berita kriminal—-persis seperti yang sedang terjadi di sini.
Tapi, mereka yang beranggapan semua itu merupakan resep mujarab keberlangsungan hidup industri media nampaknya perlu melihat studi serius yang dilakukan Thomas Patterson, seorang profesor media dan politikdari Universitas Harvard.

Patterson mengkaji 5.000 berita dari dua jaringan televisi, tiga koran nasional utama dan 26 koran lokal selama 20 tahun terakhir (1980-2000), serta memilah berita itu dalam dua kategori: "hard news" (berita keras tentang politik, kebijakan publik, perilakupejabat serta bencana dan tragedi) dan "soft news"(berita selebritis, kriminal dan mistis).

Hasilnya? Patterson menemukan peningkatan secara drastis sajian "soft news", dari hanya 35% pada1980-an menjadi 50% pada peralihan abad ini. Pada saat yang sama, Patterson menemukan bahwa obsesi media kepada "soft news" justru telah menggerogoti makin jauh minat orang pada berita secara keseluruhan.Lebih banyak orang, menurut studi itu, justru sesungguhnya menginginkan berita yang mengandung "kepentingan publik" -jumlah mereka naik dari 24% pada1980-an menjadi 63% pada 2000.

Studi ini juga menunjukkan bahwa sekitar 50% orang yang menyukai liputan publik punya kecenderungan paling loyal terhadap segmen berita, namun sekaligus paling kecewa dengan trend pemberitaan media-massayang didominasi infotainment. Dengan kata lain, "softjournalism" sebenarnya sedang mengerogoti kredibilitas total media sendiri.

Studi Patterson menunjukkan dengan telak betapa media telah serampangan mendifinisikan apa yang dimau publik, lebih khusus lagi tentang apa yang berguna untuk publik. Riset pemasaran yang menunjukkan besarnya antusiasme orang terhadap infotainment mungkin benar, tapi itu hanya bersifat jangka pendek. Dalam jangka panjang, menurut Patterson, media sedang mengebiri minat orang terhadap berita secara keseluruhan—-padahal berita adalah salah satu alasan terpenting kenapa media hidup dan layak disebut pilar keempat demokrasi.

Berita bermutu yang dihasilkan oleh "hard journalism"secara tradisional dipandang sangat penting bagi demokrasi yang sehat: warga negara memahami persoalandan ikut terlibat dalam pengambilan keputusan. "Softjournalism" sebaliknya mengalihkan perhatian orang dari persoalan publik yang esensial, dan meneruskan trend depolitisiasi secara massif.

Menulis laporannya dengan judul The American Democracy(McGraw-Hill, 2001), Patterson menyimpulkan bahwa infotainment telah memperlemah kualitas demokrasi Amerika. Kesimpulan itu mendukung tesis Paul Kennedy, profesor sejarah Harvard, yang melihat televisi sebagai salah satu penyumbang penting budaya trivial(remeh-temeh) yang menggerogoti posisi Amerika sebagai adikuasa dunia.

Kita di luar Amerika, misalnya, kini menyaksikan betapa berbahayanya petualangan yang dilakukan Presiden Geroge W. Bush: bagaimana dia berbohong tentang Irak, dan bagaimana dia menggunakan pajak rakyat untuk menggenjot pesta-pora industri militer.Tapi, apakah mayoritas publik Amerika sebenarnya tahu apa yang dilakukan presidennya di pojok dunia lain?

Ironisnya, pada saat yang sama kita di Indonesia sedang meniru kerusakan serupa, bahkan dengan laju lebih cepat. Dan kita memang terutama ahli dalam meniru hal-hal buruk dari Amerika, seraya mengabaikan warisan positif peradaban Amerika yang sebenarnya bisakita manfaatkan untuk mengejar ketertinggalan di berbagai bidang

Akhir kata, Parto dan Nicky mungkin layak beroleh simpati. Tapi, dalam renungan lebih jauh, hal yang potensial paling merusak sebenarnya bukanlah perilaku brutal wartawan infotainment, tapi format infotainment itu sendiri yang diagungkan sebagai nyawa industri media.

Walhasil, dengan egoismenya yang melambung, media tak hanya sedang mengkhianati publik yang memberi mereka fasilitas umum seperti lisensi untuk frekuensi radioatau televisi. Media bahkan sedang menafikan basis eksistensinya sendiri, yakni kepentingan publik,sebuah alasan kenapa media diberi jimat sapujagat" kebebasan berekspresi".

Indonesias Mas Media Role to Reducing Poverty

Indonesia in fact, has many potential to become a great and wealth country. However, the government of The Republik Indonesia faced many problems to reach their goals, and the biggest one is poverty.

Nowadays, poverty has become a world issues. So that’s not only become Indonesia problem, but also the world problem. Some seminars and workshop was held by various world organizations, in various countries regarding this poverty issues. Many countries doing some more, with creating some action and agenda with given aid and support to attacking poverty. In Indonesia itself, the government has launched Indonesian Year of Financial Micro (Tahun Keuangan Mikro Indonesia), on Februari 26th 2005. This government’s program was aim to attacking poverty, creating more job opportunity in Indonesia, and also to increase the wealthy of people.

The government realized, this program could be successful with strengthen the Small Medium Enterprises (SME). In the same way, the government has asked to national banking industries and financial services to provide a financial support to the SMEs business in Indonesia. Hopefully with this program, could be reducing poor communities and creating some new successful SMEs business in this country.

In the other hand, to reducing poverty, mass media in Indonesia has a significant and critical role in the enabling the environment of business. Mass media, should be creating many attractive program and action i.e. :

First, giving a guidance and direction for poor society to get information about business environment and capital access. In this case, the media should make some program to bridging them to capital access, or banking loan and credit facilities. So they can create business based on the capital provide by banking and financial services. Some media like Swa Magazine and Koran Tempo, has create program on this. Swa with Enterprise50 (cooperation between SWA, Accenture and PT UKM Indonesia), give an award to 50 successful entrepreneurs. Koran Tempo, more specially focus to lower SME’s supporting by Sampoerna has to do the same with given Djie Sam Soe Award. Unfortunately, these two programs not followed by some follow up program.

Second, providing channel information about successful stories of some SMEs business in a various area. Hopefully, this way can attract many SMEs to do the same thing, to make their business more existence and sustainable. The action on this, with creating a rubrication on some media, like SMEs corner who provide some successful SME stories.
Informed, that many product of SME can be accepted in the market if they have a good quality standards, and continuity supply. Media can cooperate with government institution like Department of Trade or Department of Industry give a direction to the SMEs, how to create a good quality product.

Third, Ensure the stakeholder of SMSs the benefit of joining group or business association to give them opportunity to find a business knowledge, joining and follow an interactive discussion about their business.

However, on the basic, the journalist should have a passion about writing some positive article concerning poverty. To achieve this, some NGOs related with this field, should given an opportunity to take some journalist of various media to see the reality. Take them to some poor communities and rural environment, created some workshop on poverty; give them information of some program has done, to reducing it. So, the journalist has a background to publish their article regarding on it.

Friday, August 18, 2006

KUSnet dan Semangat Melestarikan Ke-Sunda-an

KUSnet dan Semangat Melestarikan Ke-Sunda-an

Masyarakat Sunda adalah salah satu kelompok masyarakat dengan keunikan tersendiri. Jika ditilik dari sejarahnya, masyarakat Sunda sudah menjadi salah satu suku yang telah ada di persada Nusantara. Kehadirannya bisa direpresentasikan dari kenyataan jumlahnya saat ini telah mencapai 30 juta jiwa. Mereka sebagian besar tersebar di Propinsi Jawa Barat dan Banten. Tak sedikit juga diantara mereka yang merantau ke berbagai pelosok negeri hingga ke berbagai tempat di dunia. Boleh jadi, di saat pengaruh global demikian dominan menderas merasuki ranah kehidupun melalui beragam media, cetak maupun elektronik, yang membuat akar kesundaan mereka tercerabut. Beruntung, masih ada sekelompok masyarakat yang peduli pada persoalaan kesundaan bergabung di internet untuk menjadi pelestari beragam khasanah tentang Sunda dan segala pernak perniknya.

Adalah Ismail Rahman, warga Kuningan, yang bekerja di Jakarta sebagai salah seorang praktisi di bidang teknologi Informasi. Ismail memelopori keberadaan Komunitas Urang Sunda di Internet (Kusnet) dengan membuat milis tentang urang sunda di internet pada 8 Mei 2000. Dalam pengatar di milis itu, Ismail menulis Milis sebagai sarana untuk melestarikan beragam khasanah Sunda. Nama Milis itu, urangsunda@yahoogroups.com. Singkatan KUSnet diambil dari tulisan di pengatar milis yang kemudian terdengar selaras dengan nafas dan nama Sunda. Jadilah KUSnet yang merupakan wadah komunkasi masyarakat Sunda di internet. Peminat milis ini pada awalnya cuma 23 orang. Kini lima tahun kemudian, hampir 200 orang tercatat sebagai anggota, dan sekitar 250 orang secara aktif mengirim postingan mereka setiap harinya.Untuk memoderasinya, enam orang warga dengan sukarela menjadi moderator. Mereka datang dari dari berbagai kalangan profesi. Sejak dosen, pensiunan karyawan BUMN, pegawai swasta, hingga pewirausaha.

Berawal dari milis, namun kiprah Kusnet boleh dibilang telah begitu sangat beragam. Di saat berbagai institusi resmi, masih menjadikan upaya pelestarian budaya sunda sebagai wacana, Kusnet telah melakukan beberapa langkah nyata. Beberapa proyek konservasi dan revitalisasi naskah-naskah Sunda telah dilakukan oleh komunitas ini. Katakanlah sejak Buku Rusdi jeung Misnem, yang didigitalisasi, hingga buku-buku lama berbahasa Sunda lainnya. Seorang warganya yang bermukim di Jerman melakukan komputerisasi hurup-hurup asli Sunda, membuat website, dan mendokumentasi beragam dokumen tentang khasanah kesundaan lainnya.

Kusnet juga telah berpartispasi dalam Kongres Basa Sunda ke VIII yang digelar pada Bulan April lalu di Subang. Pada kongres ini, salah seorang moderatornya, Mamat Sasmita yang lebih dikenal sebagai Ua Sasmita menyajikan makalah yang turut menyemarakan suasana Kongres.

Being Digital
John Negroponte dalam bukunya Beeing Digital (2000) menulis kecenderungan internet telah menjadi sebuah jalan tol dimana beragam kepentingan bisa disalurkan. Lewat internet pula, keinginan untuk melestarikan khasanah kesundaan mendapat tempatnya.

Pada awalnya, mungkin berawal dari keinginan untuk terus mempertahankan eksistensi Sunda di tengah pesatnya arus globalisasi. Pilihan untuk menjaga agar para penerus dan generasi muda Sunda tidak pareumeun obor, boleh jadi merupakan sesuatu yang diidealkan. diawang-awang. Namun upaya yang dilakukan Kusnet telah awang-awang itu menjadi seuatu yang membumi, yang riil yang bisa dinikmati. Kultur dan kehidupan para warganya boleh saja berbeda-beda. Warganya ada yang bekerja sebagai staf PBB di New York, menjadi mahasiswa di sebuah Universitas di Jerman, menjadi tenaga kerja Indonesia di Abu Dhabi, TNI yang bertugas di Sierra Leone, tapi Internet telah memupus kendala itu. Mereka tetap dapat menjadi urang sunda dan menikmati ke-sunda-an mereka. Menjadikan mereka dekat, dan menjadikan kesundaan mereka sebagai bagian dari keseharian.

Namun, keinginan sekolompok warga masyarakat Sunda ini tidak perlu dilihat sebagai upaya untuk menyombongkan diri, menjadikan suku Sunda sebagai suku yang superior. Ada banyak milis komunitas serupa di internet dan mereka juga telah menjalankan peran nyata untuk katifitas kesukuan mereka. Namun begitulah, urang Sunda akan tetap dikenal karena typikal khas mereka yang peramah, menikmati hidup, taat pada agama, serta senang berkumpul untuk heureuy, dan ngabanyol (bergurau). Menurut Ua Sas, heureuy urang Sunda tidak pernah dalam konteks menyakiti orang lain namun lebih, pada upaya menertawakan diri sendiri.

Namun sebagaimana umumnya aktifitas yang bisa dilakukan komunitas milis, hubungan itu akan selalu cair, demokratis, dan tentu saja tak bisa mengakomodasi keinginan seluruh anggotanya. Sebandungnya (bosen Yogya melulu), akan lebih baik jika KUSnet memainkan peran yang lebih dominan dalam aktifitas yang lebih riil selain mengupakan upaya pelestarian di bidang literer. Upaya yang telah dilakukan komunitas ini melalui Yayasan Parceka yang didirikan, dengan membangun perpustakaan di desa-desa terpencil sungguh patut diapresiasi. KUSnet dapat juga mengajak para inohong Sunda agar berperan lebih aktif dan memainkan peran yang lebih signifikan di bidangnya masing-masing.

Puplasi orang Sunda memang cukup banyak. Namun yang peduli pada persoalan kesundaan reatif sedikit. Mereka yang berhimpun di KUSnet mungkin telah menjadi yang sedikit itu. Mereka telah berupaya dengan cara-cara mereka sendiri, menjaga agar kesundaan tetap eksis, tak hanya menjadi milik para sastrawan sunda, penggiat sunda, namun menjadi milik seluruh generasi. Mereka menjadikan internet sebagai medium yang pas untuk itu, mendekatkan jarak, dan mampu menjadikan para warga Sunda di belahan dunia lain tetap dapat menyalurkan hasrat dan kerinduannya pada kesundaan, pada bahasa Sunda dan undak usuk bahasanya, pada masakan sunda, pada naskah-naskah sunda, pada seloroh (heureuy) Sunda, dan semesta kesundaan lainnya.

* Terimakasih untuk Ua Sasmita yang telah menyediakan bahan-bahan untuk penulisan artikel ini.

Thursday, August 17, 2006

Teh Botol Sosro

Sudah lihat iklan teh botol sosro terbaru? Iklan ini bercerita tentang suasana belajar di kelas. Diceritakan, seorang guru pria pengajar bidang studi ilmu pengetahuan alam tengah menerangkan rantai makanan. Dijelaskan oleh sang guru ”Manusia makan ayam ...” tiba-tiba, seorang murid mengacungkan tangan dan bertanya. ”Setelah manusia makan ayam, minumnya apa, Pak”. Pak guru dengan malu-malu menjawab pelan, ”Teh botol Sosro ....”. Ini masih ditambah ekspresi Pak Guru yang clegukan, menelan ludah sembari membayangkan nikmatnya minum teh botol Sosro. Di akhir cerita, Pak Guru tampak memperoleh kepuasan dengan meminum Teh Botol Sosro di depan kelas.

Iklan yang mengelitik ini, terlepas dari adanya surat pembaca di sebuah harian yang menilai iklan tadi melecehkan profesi guru, sangat pas dan tepat menjelaskan posisi produk teh botol sosro. Ini sesuai tagline yang sengaja melekat yang sangat jeli dibuat oleh produsen minuman ini, yaitu ; ”Apapun makanannya, minumnya teh botol sosro”. Serangkain iklan dengan berbagai tema, untuk mendukung tagline ini telah dibuat. Diantaranya, ekspresi orang yang kepedesan karena makan makanan, dan dahaganya terpuaskan seteleh minum teh botol sosro. Atau seorang ibu yang tengah curhat sama temannya dan mengaku sering makan ati. Temanya mungkin bisa miskomunikasi. Makan hati yang dimaksud si Ibu adalah kata-kata kiasan untuk menerangkan suasana hatinya yang galau. Teman curhatnya si Ibu, tanpa basa-basi langsung pergi, dan ketika kembali membawa teh botol sosro. Ketika Ibu yang curhat bengong karena tak mengerti, si ibu temannya langsung berkata, ”Kan tadi sudah makan hati,” Ibu curhat pun tersenyum dan langsung menikmati teh botol sosro.

Bahkan, karena mengenanya tagline ini. Beberapa orang kreatif mendesain gambar partai tulang belulang, dengan wajah Sumanto, -- pelaku kanibal yang pernah menghebohkan beberapa tahun lalu -- yang dibuat mirip dengan gambar/foto calon presiden. Dibawahnya terdapat tagline produk yang terkenal ini. Apapun makanannya .... minumnya teh botol sosro. Pamplet dan propaganda yang mengusung Sumanto ini beredar luas di internet. Cuma saya enggak tahu, apakah Sumanto dapat kompensisasi dari pemuatan iklan teh botol sosro tak resmi ini.

Kagak ada matinye.
Teh botol sosro yang diproduksi oleh PT Sinar Sosro ini memang kagak ada matinye. Kini, teh botol sosro boleh dibilang adalah market leader dalam minuman dalam botol di Indonesia. Bahkan jagoan minuman asal Amerika Coca-cola pun masih harus terus berjuang keras agar produk mereka bisa mengalahkan jagoan minuman lokal asal Ngawi ini. Coca Cola boleh jadi penguasa pasar minuman berkarbonasi dengan penguasaan pasar sebesar 50%. namun untuk minuman teh dalam botol, Sosro tetep jawara dengan menguasai 90% pasar. Coca Cola pernah berusaha lewat produk Hi C. Namun, kenyataannya gagal. Kini, Coca Cola tengah berusaha untuk merebut sedikit pasar minuman teh dalam botol yang masih dikuasai Sosro lewat produk Frestea. Produsen minuman lain seperti Pepsi juga pernah berusaha untuk menjegal Sosro. Lewat produk TeKita, Pepsi mencoba menggoyang dominasi Sosor. Namun apa daya, meski telah berjuang habis-habisan, TeKita gagal untuk menumbangkan Sosro.

Banyak orang berspekulasi tentang rahasia sukses Grup usaha Sosrodjojo ini. O, ya. Sekarang mereka telah menjadi Grup usaha yang lini bisnisnya bersimaharajalela, sejak pemilikan hotel, produsen tissue, hingga properti. Namun bisnis utamanya, adalah menjual teh dalam botol. Kembali ke spekulasi rahasia sukses teh botol ini, beberapa diantara pakar bisnis sepakat, bahwa rahasia kejayaan Teh botol sosro ada pada rasanya yang pas di lidah dan tenggorokan orang Indonesia. Beberapa orang lain sepakat bahwa kekuatan bisnis Sosro juga terletak pada kekuatan distribusi dan marketingnya yang luar biasa. Namun tahukah Anda bahwa rahasianya, terletak pada kepemilikan Sosro atas botol-botol yang menjadi tempat minumannya? Betul Sodara, rahasianya sederhana saja ; Ada pada botol. Dengan kepemilikan botol yang luar biasa banyak jumlahnya, praktis Sosro menguasai ketersedian produknya di pasaran.

Bagaimana tidak, yang dijual Sosro kan sebenarnya hanyalah air teh. Bukan botolnya. Nah botolnya ini lah yang mengalami proses daur ulang sejak, proses pencucian dan pembersihan di pabrik, pengisian, didistribusikan hingga ke lapak-lapak kaki lima, dinikmati konsumen dan kemudian kembali lagi ke pabrik untuk menjalani proses dari awal dan begitu seterusnya. Nah, jumlah botol yang sudah teramat banyak dimiliki Sosro ini belum mampu ditandingi produsen minuman dalam botol lain. Rahasia ini diungkap seorang kerabat keluarga besar Sosrodjojo, kepada saya saat saya masih bekerja di sebuah majalah ekonomi dan bisnis beberapa waktu lalu.

Kebesaran Sosro jelas seharum nama pendirinya yang mula-mula menjajakan air teh ini dalam sebuah wadah baskom besar, di pasar senen jakarta sekitar tahun 1970an. Dari wadah baskom ini, air teh produksi keluarga Sosro kemudian dimasukan kedalam plastik-plastik kecil, dan dijual kepada para pejalan kaki yang lewat di daerah itu. Siapa sangka strategi sederhana ini berbuah dahsyat dengan menjadikan Teh botol Sosro sebagai raja diraja minuman teh dalam botol di Indonesia. Mengutip majalah SWA no 10 Mei 2005, seorang pengamat dan praktisi pemasaran menaksir penjulan PT Sinar Sosro tahun 2004 adalah sebesar Rp 2 trilyun, dari 146 juta krat yang terjual. Jualan teh aja bisa sampai dua trilyun ya?

Sosro memang enak
Terlepas dari volume bisnisnya yang kian menggurita, produk Teh botol Sosro patut diakui memang diterima masyarakat. Para penjual pun mengaku untung dengan menjual Sosro ketimbang produk lain. Dari sisi rasa, Teh botol Sosro terasa lebih pas di lidah ketimbang produk teh dalam botol lain.

Seorang teman perempuan yang bekerja sebagai AE di sebuah majalah berita di Jakarta bisa menghabiskan lima teh botol sosro dalam sehari. Apalagi kalau kebetulan ia harus ke luar kantor karena urusan pekerjaan. Ia seperti mengharuskan diri untuk berhenti sejenak di pinggir jalan dan mencari penjual teh botol sosro. Ia mungkin peminum fanatik Teh Botol Sosro, karena jika disodori teh botol merek lain, kawan saya tadi lebih memilih meminum air putih. Sampai sebegitunya ya?

Saya sendiri suka minum teh botol sosro. Waktu masih tinggal di Jakarta, saya menyimpan beberapa kerat di rumah sebagai persediaan. Awalnya sih untuk alasan kepraktisan saat menjamu tamu yang datang ke rumah, juga harganya lebih murah jika beli dalam kerat. Tapi karena tamu yang datang terbilang sedikit. Teh botol yang sekerat itu malah saya habiskan sendirian. Sekarang, anak saya yang masih berusia tiga tahun juga ikut-ikutan menjadi penikmat teh botol sosro. Ia seperti tahu, teh botol yang sering diminum ayahnya adalah minuman yang enak. Tapi karena tahu pengaruh minuman dalam botol yang tidak terlalu baik untuk kesehatan, apalagi anak-anak, saya kini membatasinya.

Tulisan ini bukan promosi. Jadi nikmati saja, sembari minum ....Teh Botol Sosro.

Gurame

Ikan gurame (orphronemus gourami lac) merupakan ikan jenis air tawar yang berasal dari perairan rawa-rawa dan menyukai perairan yang tenang . Ikan ini juga bisa hidup di sungai atau danau. Budidaya ikan gurame, mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi. disamping rasanya yang lezat dan empuk, ikan ini pun digemari banyak orang.

Disamping rasanya itu, perawatannya pun tidak terlalu sulit dan tidak memakan banyak biaya. Saat ini cukup banyak petani ikan yang telah membudidayakan ikan ini. Terlebih, harga dari setiap bibitnya yang murah dapat menghasilkan keuntungan 3 kali lipat. Harga ikan gurame di pasaran sangat bervariasi tergantung dari bobot ikan tersebut. Saat ini harga 1 kg Ikan gurame dengan berat masing-masing sebesar 500-600 gr mencapai kisaran Rp 20.000-Rp 25.000.- per kg.

Menurut TEMPO Interaktif, berdasarkan data dari Departemen kelautan dan perikanan (2003), setiap tahun, produksi ikan gurame mengalami peningkatan sekitar 35 persen. Ini karena semakin banyaknya petani ikan yang membudidayakan ikan jenis ini.

Berdasarkan catatan departemen kelautan dan perikanan tadi, produksi nasional gurame pada tahun 1999 sebesar 9.820 ton. Lalu pada tahun 2000 meningkat menjadi 14.065 ton. Pada tahun 2001 produksinya mencapai 19.027 ton. Pada tahun 2006, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya menargetkan peningkatan sebanyak 3 kali lipat. Namun, kontribusi ikan gurame di sektor perikanan dalam negeri saat ini baru 10 persen. Seluruh produksi ini umumnya dikonsumsi di dalam negeri.

Kabupaten Tasikmalaya merupakan wilayah yang dikenal sebagai salah satu sentra produksi ikan Gurame di Jawa Barat. Khususnya di Kampung Babakan Loa, Desa Sukamahi kec. Indihiang, beberapa petani telah membudidayakan ikan ini meski dilakukan secara tradisional.

Agar usaha budidaya dan pemesaran ikan gurame ini berjalan optimal, maka dirasa perlu penanganan secara profesional dengan dukungan seluruh sumberdaya yang tersedia.

Ikan gurame merupakan jenis ikan air tawar yang paling mahal harganya, namun permintaannya cukup tinggi. Permintaan gurame datang dari kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta. Karena mudahnya menjual ikan gurame, banyak orang yang menyetarakannya dengan emas, selain mudah dijual juga bernilai cukup tinggi.

Dalam kondisi pasar yang cukup prospektif tidak banyak orang yang menekuni usaha perikanan gurame secara profesional dan berorientasi komersial. Maka walaupun permintaannya cukup tinggi, penawaran ikan gurame masih dirasakan lamban. Akibatnya, sekalipun untuk memenuhi permintaan lokal dan regional, pasar ikan gurame masih terbuka lebar.

Fluktuasi harga ikan gurame relatif stabil dengan kecenderungan yang terus meningkat. Sebagai ilustrasi, harga ikan gurame saat ini di tingkat konsumen wilayah Tasikmalaya mencapai Rp.20.000 – Rp.25.000 per kg, sementara harga ikan yang berada satu peringkat di bawahnya yaitu ikan mas hanya Rp 9.000 paling tinggi Rp 12.500.

Sebagian wilayah pedataran Kabupaten Tasikmalaya memiliki sumber air permukaan maupun air tanah yang cukup sehingga menjadikan iklim yang kondusif untuk pengembangan budidaya ikan air tawar. Sentra budidaya ikan gurame di Kabupaten Tasikmalaya tersebar di beberapa kecamatan antara lain: Kecamatan Singaparna, Leuwisari, Padakembang, Sariwangi, Sukarame, Rajapolah, Manonjaya, Cisayong, Cigalontang. Kurang lebih 1.541,11 Ha kolam di wilayah tersebut potensial sebagai tempat usaha ikan gurame.

Luas penguasaan lahan usahatani yang sempit berimplikasi pada efisiensi penyediaan sarana produksi dan pemasaran. Untuk mencapai efisiensi tersebut dapat dilakukan pendekatan kelompok kemitraan antara plasma dan inti.Inti merupakan pihak pengelola kelompok, dapat berupa perusahaan yang bekerja sama dengan beberapa orang petani. Inti lebih difokuskan pada penyediaan sarana produksi termasuk bibit dan pemasaran. Sementara petani (plasma) bergerak pada tata laksana usahatani.

Ayo, siapa lagi yang ingin beternak ikan gurame?