Thursday, June 12, 2008

Menjual buah dan sayur Indonesia ke Singapura

Tanggal 4 – 5 Juni 2008 lalu, saya berkesempatan menghadiri seminar bisnis bertema : ”Enggaging Indonesia in Vegetables Export to Singapore”. Seminar ini diselenggarakan oleh Agri-Food and Veterinary Authority (AVA) of Singapore, dan difasilitasi KBRI Singapura. Jika di Indonesia, AVA ini mungkin semacam Badan POM, namun dengan kewenangan yang lebih luas, karena melakukan beragam test untuk beragam jenis produk makanan berbasis nabati dan hewani sekaligus.

Krisis pangan yang melanda dunia beberapa waktu terakhir membuat pemerintah Singapura khawatir. Meski menjadi negara dengan pendapatan perkapita tertinggi di kawasan Asia Tenggara, tetap saja mereka dipusingkan oleh terbatasnya sumber pasokan produk pertanian yang dimiliki. Maklum, Singapura yang mengandalkan pendapatan mereka kepada bisnis jasa, wisata, dan keuangan, menjadikan mereka berkelimpahan. PDB Singapura mencapai US $ 28.284, kelima tertinggi di dunia. Dengan demikian, untuk urusan sayur dan buah, mereka bisa mengimpor dari negara mana saja sesuka mereka. Hingga tahun 2007, sebanyak 389,807 ton produk sayur dan buah singapura senilai S$ 350 juta merupakan produk impor. Hanya 19,07 ton yang merupakan produksi lokal.

Kebutuhan sayur dan buah Singapura selama ini dipasok dari Malaysia (Cameron Highland), dan Johor. Selain Malaysia, China dan Thailand secara kontinu memenuhi kebutuhan sayur dan buah negeri Singa ini. Indonesia? Nah ini dia, meski merupakan negara tetangga dekat, produk sayur dan buah Indonesia belum cukup mampu bicara banyak. Di Pasir Panjang Wholesale Center (pasar induk untuk sayur dan buah), hampir mayoritas produk sayur dan buah yang bisa ditemui datang dari Malaysia, Thailand, China, Australia, India dan Amerika Serikat. Hanya Kubis dari Medan, Sumatera Utara yang saat itu sedang diturunkan dari kontainer. Padahal jika merujuk pada data statistik impor/ekspor Singapura, pada 1991 ekspor sayur dan buah Indonesia mencapai 47,880 ton (14%). Angka ini turun menjadi hanya 25,280 ton (5,8%) di tahun 2005 dan naik sedikit 26,636 ton (6,5%) pada 2006.

Kembali ke seminar bisnis yang saya hadiri itu, pemerintah Singapura, merasa perlu membuka sumber-sumber pasokan baru, agar kebutuhan sayur dan buah mereka terpenuhi. Malaysia, jelas tak bisa lagi dijadikan satu-satunya andalan. Apalagi setelah Johor, salah satu kawasan pemasok sempat dilanda banjir, yang membuat pasokan sayuran ke Singapura terhenti beberapa saat. Mengantisipasi hal ini, termasuk bencana krisis pangan yang membayang di depan mata, Singapura segera saja mencari sumber pasokan lain. Indonesia, negara tetangga yang posisinya berhadapan muka, dengan pasokan sayur buah melimpah jelas harus jadi prioritas pertama.

Maka hadirlah di seminar bisnis tersebut, para pelaku usaha pertanian asal Indonesia, dan para buyer/trader/importir sayuran dan buah asal Singapura. Selain para pejabat KBRI, Pemerintah Indonesia mengutus staf Ahli Menteri Pertanian Dr. Delima Hasari Azahari untuk menjadi salah satu pembicara kunci. Pembicara lain, Nurul Ichwan, Kepala Kantor Perwakilan BKPM RI di Singapura, Mr. Leslie Cheong dari AVA, dan Mrs Lam juga dari AVA. Ada juga Mrs. Angeline Suparto, praktisi hukum yang bicara tentang seluk beluk regulasi dan aspek legal dalam bidang investasi khususnya investasi agribisnis di Indonesia. Ketua Asosiasi Eksportir/Importir Sayur dan Buah Singapura (SFVIA), Mr. Tay Khiam Back, berbicara tentang ekspektasi buyer terhadap produk sayur dan buah yang akan diimpor oleh Singapura

Peserta asal Indonesia datang dari berbagai daerah. Saya (CV Bimandiri) dan Komar Mulya (PT Alamanda Utama Sejati) mewakili Jawa Barat. Ada Pak Nasikin dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Timur, Pak Eddy Antoro pemilik usaha agrowisata Kusuma beserta istrinya, ada Pak FX Suwarto seorang aktifitas LSM pertanian yang gigih menawarkan model pertanian berkelanjutan dan bernilai ekonomis tinggi. Dari Sumatera, ada Pak IGK Sastrawan, Dirut PD Agromadear, BUMD asal Simalungun Sumut, juga para pengusaha asal Kepri, Bu Netty Darsono pengurus Kadin Batam, Budimulyono Widyaatmadja, eskportir buah dan sayur asal Jakarta, serta Pak Ir. Soekam Purwadi dari Dinas Pertanian Magelang.

Pada saat dikusi panel di sesi pagi seminar, Bu Hj. Delima, sebagai "official Indonesian government" dicecar dan dihujani banyak pertanyaan seputar kebijakan dan regulasi bidang pertanian. Beruntung, beliau cukup tangkas dan taktis menjawab berbagai pertanyaan termasuk keluhan dari Mr. Hans Bijlmer, Dirut PT Strawberindo Lestari, yang berkeluh kesah tentang prosedur dan regulasi pengadaan pupuk yang menurutnya membingungkan.

Apresiasi positif mungkin patut disampaikan kepada Nurul Ichwan, Kepala kantor perwakilan BKPM. Lewat presentasinya yang menarik, menghibur, dan disampaikan dalam bahasa Inggris yang fasih, Nurul berbicara tentang potensi investasi bagi para pengusaha Singapura di Indonesia. Nurul mungkin bisa menjadi model pejabat Indonesia di luar negeri, yang bekerja all out menjual dan mempromosikan Indonesia, meski wajah Indonesia di mancanegara sudah terlanjur tercoreng moreng. Dua hari kemudian, dalam diskusi yang lebih intens di kantornya yang nyaman di Raffles Tower kawasan City Hall, saya dan Nurul bertukar pikiran tentang upaya memasarkan produk pertanian Indonesia khususnya Jawa Barat di Singapura, mencoba mencari solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi, serta - ini yang penting - menghubungkan kami dengan jejaring bisnisnya yang tersebar di Singapura.

Usai seminar, malam harinya kami dijamu makan malam oleh Pak Dubes Wardhana di KBRI di kawasan Chasworth. Dalam sambutannya, Pak Dubes mengucapkan terimakasih atas kesediaan para buyer Singapura dalam menjalin hubungan yang lebih intens dengan para pelaku usaha pertanian Indonesia. KBRI, kata dubes, akan senantiasa mendorong dan memberikan akses yang seluas-luasnya kepada upaya dagang yang dilakukan oleh para pelaku usaha dari kedua negara.

Esoknya, kami melakukan kunjungan lapangan ke beberapa tempat. Lokasi pertama yang kami kunjungi adalah Pasir Panjang Wholesale Center, alias Pasar Induk Singapura. Di sini, kami melihat dari dekat proses bongkar muat produk sayur dan buah yang datang dari seluruh penjuru dunia. Produk buah dan sayur yang masuk ke pasir panjang umumnya datang dari Malaysia (Cameron Highland untuk sayuran dataran tinggi), Thailand (buah-buahan), India, Australia, dan Amerika Serikat. Produk sayur Indonesia yang berhasil “lolos” masuk Pasir Panjang adalah kubis, dari Medan Sumatera Utara. Ini bisa dikenali karena setelah dikeluarkan dari kontainer, kubis dibungkus koran berbahasa Indonesia.

Di Pasir Panjang, setiap kemasan buah dan sayur, dilengkapi dengan label informasi produk. Label ini penting untuk melakukan penelusuran produk jika nantinya terjadi sesuatu. Petugas AVA, secara rutin mengumpulkan sampel setiap produk buah dan sayur untuk dikirim ke laboratorium AVA untuk diteliti. Kunjungan di Pasir Panjang diakhiri oleh sesi diskusi dan makan siang.

Dari Pasir Panjang, kami menuju AVA Laboratory Test di kawasan Lim Cu Kang Agri Biopark. Di Fasilitas laboratorium yang lumayan jauh dari pusat kota singapura ini, kami melihat dari dekat proses penelitian sample untuk produk sayur dan buah yang akan dipasarkan di Singapura. AVA melakukan dan menerima permintaan test untuk beragam spektrum resiko kimiawi dan mikrobiologis. Termasuk untuk racun yan terdapat dalam bahan pangan, organisme dan unsur kimia berbahaya, hingga racun.

AVA Laboratory Test menerima dan meneliti sekitar 250 sampel produk sayur dan buah setiap harinya. Untuk setiap sampel yang diteliti dibutuhkan waktu delapan jam, hingga dinyatakan negatif dan aman untuk dipasarkan/dikonsumsi. Hal yang paling utama untuk produk sayur dan buah yang akan dipasarkan di Singapura adalah residu pestisida yang harus berada di ambang minimal, dan tidak adanya racun/kandungan berbahaya lain ditemukan dalam produk sayur dan buah. Semua proses dilakukan secara moderen dan komputerisasi. AVA Pesticide Residue Lab yang memiliki fasilitas bernilai sekitar Rp 15 miliar ini tidak mengenakan tarif untuk setiap sampel tes yang diajukan oleh para importir sayur dan buah/petani singapura, alias gratis.

Usai meninjau AVA Res. Pest. Lab, kami menungunjungi Kok Fah Technology Farms di kawasan Sungei Tengah. Di sini, kami melihat Mr. Wong Kok Fah, pengelola lahan pertanian menanam beragam sayuran seperti kangkung, bayam, caisim, kailan dan lidah buaya. Kok Fah Farm memiliki packing house, dengan fasilitas precooling system dan cold room yang beroperasi selama 24 jam.

Lahan pertanian yang dikelola Kok Fah meliputi areal seluas 4 hektare, dan dilengkapi jaring pelindung serangga. Kok Fah menyuplai sekitar 4-5 ton sayuran segar setiap harinya ke Fair Frice, jaringan supermarket milik pemerintah. Hasil sayuran produksi sendiri sekitar 900 kg perhari. Sisanya, produk sayuran impor.

Dari Kok Fah, kami melanjutkan perjalanan ke Fresh Food Distribution Center yang merupakan pusat penyimpanan produk sayuran, buah dan makanan segar milik jaringan supermarket Cold Storage. Fasilitas yang dimiliki Cold Storage ini adalah cold room raksasa yang mampu menyimpan lebih dari 8 ton jenis produk sayur dan buah dalam suhu konstan 8 derajat celcius. Produk yang tersimpan di FFDC ini setiap harinya dikirim ke lebih dari 100 gerai di seluruh Singapura.

Kunjungan ke Singapura ini, setidaknya memberikan harapan akan potensi pemasaran produk buah dan sayuran Indonesia khususnya Jawa Barat ke Singapura. Intinya, pasar Singapura masih terbuka luas untuk dimasuki beragam produk sayur dan buah unggulan. Syaratnya lolos test AVA untuk residu pestisida, memenuhi aspek keamanan pangan yang dapat dicapai melalui cara-cara bertani yang baik (GAP), produk dikemas secara modern dan memenuhi syarat-syarat pengemasan standar, serta pengiriman konsisten sesuai kontrak yang disepakati. Jadi tunggu saja, mudah-mudahan dalam waktu dekat produk sayur dan buah Indonesia akan segera membanjiri singapura. Semoga.