Tuesday, November 27, 2007

Kisah Sebuah Kompi Tentara Pada Perang Dunia Kedua

Resensi Buku

Judul : The Band Of Brothers (Ikatan Persaudaraan) Kompi E, Resimen 506, Lintas Udara 101 Dari Pantai Normandia Ke Sarang Elang Hitler.
Pengarang : Stephen E. Ambrose
Penerjemah : A. Rahman Zainudin
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia bekerjasama dengan Kedubes AS di Indonesia
Tebal : 427 halaman ditambah indeks

Perang senantiasa menimbulkan kesedihan, malapetaka dan kehancuran. Sudah tak terhitung banyaknya penderitaan dan kesengsaraan yang ditimbulkan oleh perang kepada umat manusia. Namun, perang juga memberi nuansa lain pada sekelompok manusia yang menjadi pelakunya. Mereka yang terseret oleh putaran nasib dan roda sejarah, yang menjadikan mereka pembunuh manusia lain. Kebersamaan, kesedihan dan kegembiraan yang dirasakan saat perang, memunculkan ikatan persaudaraan yang kokoh. Ikatan persaudaraan ini tertanam dalam di dalam diri mereka , dan melekat tak hanya ketika perang masih berkecamuk, namun terus berlanjut sepanjang hidup mereka.

Kisah tentang kokohnya ikatan persaudaraan itulah yang disampaikan oleh Stephen E. Ambrose lewat buku Band of Brothers (Ikatan Persaudaraan), Kompi E Resimen 506, Lintas Udara 101: Dari Normandia ke Sarang Elang Hitler. Selain mengisahkan kuatnya ikatan persaudaraan diantara anggota Kompi Easy, buku ini juga menggambarkan perjalanan Kompi Easy sebagai bagian dari Resimen 506 Angkatan Darat Amerika Serikat pada Perang Dunia II sejak pembentukan hingga pembubarannya. Buku ini juga mengisahkan suka duka para anggota Kompi Easy saat bertugas di medan pertempuran, hingga karir dan kehidupan mereka setelah perang.

Band of Brothers, juga telah menginspirasi sutradara dan produser film Steven Spielberg dan Tom Hanks, untuk menjadikannya sebuah mini seri, yang kemudian diputar di saluran TV berbayar HBO pada musim 2001 – 2002. Mini seri ini juga meraih beberapa penghargaan EMMY dan Golden Globe (2002), untuk beberapa kategori.

Pelajaran Kepemimpinan.
Kuatnya ikatan persaudaraan diantara sesama anggota Kompi Easy, telah tertanam sejak pertama kali mereka menghadapi musuh bersama, yang ironisnya bukan pasukan Jerman di medan pertempuran Eropa, melainkan komandan kompi mereka sendiri Kapten Herbert M. Sobel. Seorang yahudi yang penugasannya di Kompe Easy datang dari garda nasional.

Sobel adalah seorang komandan yang memimpin Kompi Easy dengan keras dan bertindak laksana seorang tiran. Sikap kerasnya ini dilandasi keinginan yang kuat untuk menjadikan kompi yang dipimpinnya sebagai kompi terbaik diantara kompi lain yang ada di Divisi 101 Resimen 506 Angkatan Darat AS. Sebagai manifestasi dari tekadnya itu, Sobel selalu memerintahkan kompi Easy berlatih lebih lama, dengan porsi latihan lebih banyak dan lebih keras dibanding kompi yang lain. Sikap inilah yang memicu kebencian dan perasaan dendam para prajurit yang dipimpinnya, dan kelak memunculkan pemberontakan.

Sikap keras Sobel dalam memimpin ditunjukan dengan cara-cara yang kurang terpuji dan kerap merendahkan harkat dan martabat para anak buahnya. Sobel sangat mudah menjatuhkan hukuman kepada para prajurit yang dinilainya lemah saat menjalani latihan fisik, dengan teriakan berulang yang menjadi ciri khasnya, “Jepang akan menangkapmu,” Ia juga selalu memastikan bahwa botol minum para prajurit tetap terisi penuh, meski mereka telah menjalankan aktifitas fisik yang menguras tenaga.

Setiap akhir, pekan, Sobel akan mendakwa beberapa orang dari pasukannya karena beberapa pelanggaran spele yang dicari-cari dan mencabut hak para prajurit yang sial itu untuk beribur akhir pekan. Ia juga menetapkan waktu kembali dari liburan secara ketat. Seorang prajurit yang terlambat kembali ke barak, akan mendapatkan hukuman di Sabtu pekan berikutnya. Hukumannya adalah menggali lubang ukuran 6 x 6 x 6 kaki, yang bila telah selesai, Sobel akan memerintahkan si prajurit terhukum untuk mengubur lubang itu hingga penuh kembali.

Model kepemimpinan Letnan (kemudian naik pangkat menjadi kapten) Sobel bertolak belakang dengan Perwira Eksekutifnya Letnan Richard “Dick” Winters. Kebencian Sobel pada Winters bermula ketika Komandan Divisi Kolonel Robert Sink memberikan apresiasi kepada Winters saat memimpin latihan fisik kompi Easy. Winters yang kemudian mendapat promosi kenaikan pangkat, dinilai Sobel sebagai ancaman bagi kelangsungan karirnya. Segera saja, perseteruan antara komandan kompi dan perwira stafnya ini menjadi terbuka. Sebagai Komandan Kompi, Sobel kerap merendahkan Winters dengan memberinya pekerjaan-pekerjaan yang tidak seharusnya dikerjakan oleh seorang perwira eksekutif, seperti memeriksa kakus para prajurit dan memastikan kebersihannya. Puncak perseteruan Sobel dan Winters terjadi saat Sobel mengajukan perwira eksekutifnya ini ke sidang peradilan militer karena dinilai lalai dalam menjalankan perintah.

Jika saja sebagai Komandan Kompi Sobel mampu menjalankan tugasnya dengan baik, ia mungkin akan mendapatkan respek dari anak buahnya. Hanya saja, Kepemimpinan Sobel yang keras, kaku dan tiran, tidak dukung kemampuannya dalam taktik dan strategi militer. Ia tidak mampu membaca peta, dan seringkali salah saat mengambil keputusaan penting dalam latihan perang. Seorang anak buahnya bersumpah, bahwa ia tidak akan pernah mau dipimpin oleh Sobel di medan perang yang sesungguhnya.

Pemberontakan para prajurit terhadap kepemimpinan Sobel mencapai puncaknya, saat para Noncomissioned Officer (NCO) atau para bintara dan tantama, mengajukan mosi tidak percaya dan ketidaksediaan berperang di bawah kepemimpinan Sobel. Kolenel Sink yang kaget dengan adanya krisis kepemimpinan di Kompi Easy, kemudian menemukan jalan keluar dengan menempatkan Sobel sebagai Pimpinan Sekolah untuk para penerjun yang baru saja dibuka. Meksi demikian, ia tetap menjatuhkan hukuman penurunan pangkat kepada para bintara dan tantama yang memberontak.

Perjalanan Kompy Easy
Setelah ditinggalkan Sobel, Kompi Easy kemudian dipimpin Letnan Satu Thomas Mehaan. Pesawat yang ditumpangi Mehaan jatuh tertembak saat penerjuan pada hari H di Normandia, membuat Mehaan tidak pernah kembali ke pasukannya. Secara de facto, Winters kemudian mengambil alih kepemimpinan Kompi Easy. Dibawah Winters, Kompi Easy menjadi sebuah kompi tentara yang sesungguhnya. Bahkan karena kepemimpinannya, Kompi Easy kemudian dikenal sebagai Kompi Winters. Karir Winters sendiri naik dengan cepat, hingga ia kemudian dipercaya menjadi Komandan Batalion dengan pangkat Mayor.

Sukses Kompi Easy dibawah komando Winters dimulai saat mereka diperintahkan untuk menghancurkan sepasukan meriam Jerman yang menghalangi pergerakan pasukan sekutu dari lokasi pendaratan di Pantai Utah Normandia ke pedalaman. Memimpin 12 orang prajurit, Winters mampu melaksanakan tugas ini dengan baik dan melumpuhkan kekuatan tentara Jerman. Perjalanan Kompi Easy, kemudian berlanjut saat merebut Carentan. Diteruskan saat Bertahan dalam cuaca yang sangat buruk, dengan perlengkapan dan amunisi minim menghadapi ancaman serbuan artileri Jerman di Bastogne, menjalankan operasi “Market Garden” yang gagal, merebut kota Eindhoven, bertarung sengit dalam “Battle of Foy”, hingga menjadi kompi pertama yang mencapai Sarang “Elang, tempat” tetirah Hitler yang terletak di puncak gunung di Austria. Selama itu, Kompi Easy telah mengalami beberapa kali pergantian komandan, sejak Sobel, Mehaan, Winters, Norman Dike, Speirs hingga kemudian Divisi 101 dinonatiaktifkan, dan Kompi Easy dinyatakan tidak ada lagi.

Sejarah Orang Kecil
Buku yang ditulis Ambrose ini merupakan sebuah karya sejarah. Tak perlu disangsikan lagi, karena Amborse adalah seorang sejarawan. Pensiunan guru besar Boyd dalam Ilmu Sejarah, ini juga menjadi Direktur Eishenhower Centre di New Orleans, dan pendiri museum National D-Day. Ambrose telah menulis beberapa buku terkait perang dunia dunia, diantara D-Day, dan Citizen Soldiers (telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tentara Sukarela) dan diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia, tahun 2003.

Buku ini pada awalnya merupakan proyek penulisan Sejarah Lisan (sejarah yang ditulis berdasarkan kesaksian lisan para pelaku peristiwa yang umumnya masih hidup), tentang salah satu aspek dalam Perang Dunia kedua. Untuk proyek penulisan buku ini, Ambrose telah melakukan serangkaian wawancara baik yang bersifat kelompok maupun individu kepada para mantan anggota Kompi Easy. Ia bahkan mengunjungi beberapa lokasi ditemani para veteran Kompi Easy, untuk mengecek keakuratan data, dan sebelum menerbitkannya sebagai buku, menyerahkan manuskrip penulisan buku ini, untuk mendapatkan masukan dan kritik dari narasumber yang diwawancarainya. Ia juga melengkapi risetnya dengan catatan harian Kompi, dan catatan harian para prajurit, dan kumpulan surat-surat pribadi.

Kisah sejarah yang ditulis Ambrose adalah sejarah orang kecil. Seperti pengakuannya sendiri dalam pengantar buku ini, alih-alih menulis tentang kebesaran Jenderal Dwight “Ike” Einshenhower yang menjadi Pemimpin Tertinggi Pasukan Sekutu di medan perang Eropa, atau kisah tentang Jenderal besar lain dalam PD II seperti Nelson Omar Bradley, George Marshal atau Montgemary, Embrose lebih merasa tertarik dan memusatkan perhatian pada sebuah kompi infranti ringan yang cukup menonjol, serta menulis tentang kepribadian dan tindakan orang-orangnya. Ia mengaku, boleh jadi ia dan pembaca akan merasa bosan jika kembali disuguhi tentang kiprah para jenderal tadi, Meski tidak bisa dipungkiri, karir kepenulisannya dimulai dengan tulisan tentang Sejarah “orang-orang besar”. Ambrose, adalah peneliti dan penulis karir politik Presiden Einsehower.

Seperti yang disyaratkan oleh mazhab Sejarah Orang Kecil, dalam pandangan Ambrose, para pahlawan perang dunia II sejatinya adalah para anggota Kompi Easy itu. Prajurit Talbert, Sersan Carwood Lipton, Kopral Frank Talbert, Sersan George Luz, Prajurit Perkonte, Prajurit Babe Hefron, Sersan Joe Toye, yang mungkin tidak cukup dikenang jasa-jasanya, sebagaimana halnya orang mengenang Einsenhower, Bradley, Marshal, Patton atau Montgemary dan segala kebesaran yang melekat pada mereka. Melalui buku ini, Embrose ingin menghadirkan sisi lain dari para prajurit, tantama, dan bintara yang menjadi pelaku langsung perang dunia kedua, dengan meminjam kenangan pribadi mereka, menuliskannya, dan kemudian meneruskannya kepada para pembaca.

Sangat disayangkan, buku ini baru diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia 15 tahun setelah edisi aslinya terbit, dan miniserinya telah cukup lama ditayangkan di saluran TV berbayar HBO. Buku ini juga memiliki kekurangan terutama dalam penerjemahan, keterangan foto, dan kesalahan tipologi yang cukup mengganggu kenyamanan membaca. Selain itu, seperti halnya “Tentara Sukarela”, penerbitannya yang disponsori oleh Kedutaan Besar Amerika, juga menimbulkan sedikit pertanyaan. Apakah penerbitan buku ini menjadi semacam “legitimasi” atas invasi militer Amerika Serikat di Irak, yang hingga saat ini tak kunjung berakhir? Semoga saja bukan. (*)

No comments: