Thursday, November 22, 2007

Mengenang Rusdi Jeung Misnem

Rusdi ku Ramlan dtungtun,
Dikaleng diajak balik,
diupahan ku tiluan,
Ku Ramlan paman jeung bibi,
Dipapaler dibubungah,
ulah nyantel kanubalik

Begitulah sepenggal bait pupuh Kinanti yang menjadi penutup kisah Rudi jeung Misnem. Pupuh Kinanti ini melengkapi kisah Rusdi Jeung Misnem dalam bagian panoengtoengan (terakhir) yang menceritakan perpisahan Rusdi dengan keluarganya. Rusdi diceritakan harus bersekolah di kota mengikuti jejak kakaknya Ramlan, agar kelak menjadi orang yang pintar. Kenyataan ini membuatnya harus berpisah dengan Bapaknya (Pa Rusdi), Ema, serta Misnem, adik perempuan satu-satunya, yang akan kembali ke desa. Bagian ini juga menggambarkan suasana sedih yang menghinggapi keluarga kecil itu. Diceritakan tentang Rusdi yang berjalan kesana kemari, sebentar dengan Bapaknya, tapi tak lama kemudian ia memilih berjalan bersama Ibunya. Namun, perilakunya ini tak membuat marah Ibunya yang juga merasa susah dan sedih karena akan berpisah dengan anak laki-laki yang disayanginya. Terbayang dalam pikirannya, kesusahan yang harus dihadapi anak laki-lakinya ini karena hidup terpisah dengan kedua orangtuanya. Ketika kereta yang akan membawa kembali keluarga ini kembali ke desa, Pa Rusdi sembari menahan sedih, menasehati anak laki-lakinya itu untuk rajin belajar dan selalu mengikuti perintah guru.

Pelengkap Bacaan
Begitulah, buku Rusdi jeung Misnem membawa pembacanya, ke dalam suasana penuh haru saat Rusdi harus berpisah dengan keluarganya, maupun riang gembira saat Rusdi dan Misnem menjalani keseharian mereka. Semuanya mengalir dalam suatu jalinan cerita yang mengasyikkan. Menjadikannya sebuah mahakarya. Sastrawan Ajip Rosidi dalam buku Dur Panjak (Bandung, Pusaka Sunda, 1966) mengaku tidak akan ragu-ragu untuk menyebut buku Rusdi Jeung Misnem sebagai buku yang paling bagus dan paling menarik untuk dibaca oleh anak-anak di sekolah dasar. Ajip tentu melontarkan hal ini bukan tanpa alasan. Buku Rusdi Jeung Misnem memang ditujukan sebagai pelengkap bacaan anak-anak di sakola handap (Sekolah Dasar) dan sakola-sakola desa agar anak-anak dapat membaca. Namun, karya ini sebenarnya dapat dinikmati oleh beragam kalangan. Bahkan di masa sekarang dimana penggunaan bahasa Sunda terutama Sunda buhun sudah tidak lagi mendapat tempat karena tergeser arus globalisasi. Buku ini mungkin bisa dibaca para aki dan nini, sebagai pelipur rasa rindu pada khasanah dan budaya sunda di masa lalu.

Buku Rusdi jeung Misnem diperkirakan terbit pada tahun 1913. Namun tahun penerbitannya pada cetakan pertama, dan kedua buku ini, sebenarnya tidak pernah secara resmi tertulis. Angka 1913, muncul dalam katalog buku ini yang tersimpan di Perpustakaan Nasional di Jakarta. Buku ini terdiri dari empat jilid dan ditulis oleh A.C. Deenik dan R. Djajadiredja, dilengkapi dengan gambar karya W.K.de Bruin. Dalam pengantar buku ini disebutkan, kedua penulisnya mendapatkan bantuan dari Mas Moehammad Rais, seorang guru sunda di Kweekschool voor Onderwijzers te Bandoeng yang memeriksa dan memperbaiki kekurangannya.

Buku Rusdi jeung Misnem diawali dengan cerita tentang sosok Rusdi yang oleh pengarangnya diberi nama panggilan lain sebagai Ujang Gembru (anak laki-laki gendut). Visualisasinya semakin lengkap karena de Bruin juga menampilkan sosok Rusdi dalam gambar, dengan pakaian yang dikenakan anak-anak Sunda saat itu, seperti baju yang tak berkancing, celana longgar dan totopong (secarik kain yang diikatkan di kepala). Buku ini juga memperkenalkan sosok Misnem adik perempuan Rusdi, deskripsi rumah mereka yang berada di pinggir sebuah sungai, tentang tamu yang datang berkunjung, tentang kucing peliharaan Rusdi, dan kejadian keseharian lainnya yang dialami Rusdi, Misnem dan keluarganya.

Dibandingkan dengan buku-buku pelengkap bacaan yang terbit sesudahnya, Rusdi jeung Misnem terasa lebih membumi karena bercerita tentang keseharian sebuah keluarga Sunda dari golongan cacah (masyarakat biasa/kebanyakan). Meski dalam salah satu bagian, dijelaskan bahwa Pa Rusdi adalah lurah yang sekali waktu memimpin rombongan desanya mengunjungi kecamatan, menghadiri undangan juragan Camat yang akan menggelar hajatan. Bandingkan misalnya dengan tokoh yang diceritakan dalam buku Gandasari, Sumber Arum maupun Panggelar Budi, yang juga memiliki fungsi sama sebagai pelengkap bacaan untuk anak-anak sekolah dasar. Namun ketiga buku ini menurut Ajip terlihat lebih menonjolkan pola pikir yang mengarahkan anak untuk berperilaku baik dan terpuji. Dimana digambarkan, tokoh Jang Eman, maupun Jang Sasmita merupakan putra menak (bangsawan) Sunda. Mereka juga berperilaku bageur, bener, serta menurut pada kedua orang tua. Intinya, menjadi sosok anak ideal yang diharapkan banyak orang tua. Berbeda dengan Rusdi, yang sering berperilaku layaknya anak-anak. Kehidupan kesehariannya digambarkan sebagai kehidupan anak-anak kebanyakan, yang menjalani masa kanak-kanaknya dengan riang gembira dan dengan segala kenakalannya. Ketiga buku yang disebut terakhir memang terkesan mengarahkan anak-anak pembacanya untuk berperilaku sesuai aturan dan norma (feodal) yang berlaku saat itu. Bahkan, kelakuan anak seperti Rusdi dalam cerita Gandasari maupun Sumber Arum, disebutkan sebagai anak nakal yang tidak sepatutnya dicontoh.

Buku Bacaan Sunda Setelahnya.
Pustaka berbahasa Sunda untuk anak-anak sebenarnya cukup banyak dan beragam. Setelah era Rusdi jeung Misnem, Selain Gandasari, Sumber Arum dan Taman Pamekar, beberapa sastrawan sunda telah menulis beberapa buku bacaan anak yang kemudian terbit dan mengisi khasanah pustaka sunda untuk anak-anak pada zamannya masing-masing. Diantaranya adalah Samsudi yang melahirkan beberapa karya diantaranya Carita Budak Teuneung, Carita Budak Minggat, dan Carita Si Dirun. Samsudi kemudian diabadikan sebagai nama penghargaan yang diberikan oleh Yayasan Rancage untuk penulis buku anak berbahasa sunda terbaik.

Pada era yang lebih modern, Akub Sumarna menulis kisah Si Leungli, sekitar tahun 1970 an. Kemudian, di era kontemporer, Aan Merdeka Permana menulis Riwayat si Bedegong. Namun sayang keberadaan buku-buku tersebut sekarang ini sukar diperoleh. Bahkan sulit rasanya mendapatkan buku-buku bacaan anak berbahasa sunda yang baik, di toko-toko buku terkemuka. Beberapa peminat buku memang masih ada yang aktif mencari dan menjadikan buku bacaan anak berbahasa sunda sebagai koleksi. Sedangkan anak-anak di kota-kota besar di Jawa Barat sekarang ini harus menerima kenyataan, tak lagi memperoleh bacaan sunda bermutu seperti yang dialami oleh generasi kakek nenek mereka. Pengaruh modernisasi, dan globalisasi melalui TV dan media lain yang menderas masuk menyerbu rumah-rumah keluarga sunda telah sedikit demi sedikit menghilangkan kenikmatan itu. Para orang tua juga banyak yang mengambil langkah praktis dengan memilih buku-buku cerita rakyat dari daerah lain yang sudah menasional, atau cerita impor seperti karya-karya HC Andersen, serial Disney atau Barbie, karena itulah yang tersedia di hadapan mereka. Wajar jika sekarang ini, anak-anak di Jawa Barat menjadi terasing dan tak banyak mengenal buku-buku bacaan berbahasa Sunda. Mungkin seperti ini jawaban yang dilontarkan mereka saat ditanya. “Rusdi jeung Misnem? Mereka itu siapa?” (*)

Terimakasih kepada Neng Pupi dan Ua Sas yang memberi banyak masukan untuk tulisan ini

2 comments:

Rizky said...

penerbit buku roesdi jeung misnem itu siapa?

Rizky said...

penerbit buku roesdi jeung misnem itu siapa?