Saturday, August 19, 2006

Infotainment: Rabun Jauh Industri Media

Menyimak wacana tentang halal - haram infotainment, saya kutipkan tulisan wartawan senior Farid Gaban yang dimuat di Koran Tempo, edisi Minggu 29 Agustus 2004
----------

Infotainment: Rabun Jauh Industri Media
"Soft journalism" – musuh bisnis, musuh demokrasi pula.

Farid Gaban -- Pena News Service & Syndicate

Haruskah kita peduli pada siapa suami berikut NickyAstria atau Wulan Guritno? Bagaimana Ray Sahetapi atau Parto bertemu istri kedua? Apa merek mobil terbaru Kris Dayanti atau berapa nomor kutang Sarah Azhari?

Banyak orang nampaknya merasa menjadi kuno jika tidak mengikuti berita tentang para selebriti hingga kesudut hidupnya yang paling pribadi. Acara infotainment di televisi banyak digemari, mencatat rating tinggi, mendatangkan banyak iklan--dan memperkaya pemilik televisi dalam prosesnya. Tak heran jika seperti candu, berkah infotainment mendorong televisi mengeksploitasinya hingga ke dosis memabukkan dan menjamah wilayah pribadi yang paling jauh.

Ada insentif bagi wartawan infotainment untuk menciptakan bintang. Dan lebih besar lagi insentif bagi mereka untuk memanen apa yang sudah mereka tanam: kehidupan pribadi para bintang. Semuanya terjadi dalamspiral aksi-reaksi menuju klimaks sampai kita menemukan fakta yang begitu absurd: pelawak Parto merasa perlu meletuskan tembakan peringatan karenamerasa diteror kejaran wartawan infotainment--wartawan yang pada sisi lain berjasa melambungkan orang sepertidia masuk ke status sosial tinggi dalam feodalisme baru di zaman televisi.

Sekarang ini ada 11 stasiun televisi swasta yangbersaing menembakkan rudal tayangan infotainment kerumah-rumah kita. Sebut saja acara Cek & Ricek (RCTI),Kiss (Indosiar), Hot Shot (SCTV), Cuci Mata (TV7),Insert (TransTV) dan Selebriti Update (TPI). Sepertidikutip Majalah Gatra belum lama ini, Ilham Bintang,salah satu pionir infotainment Cek & Ricek,memperkirakan setidaknya ada 45 mata acara sejenis iniyang mencaplok lebih dari 100 jam tayang di seluruh televisi setiap pekannya—-durasi yang lebih panjang dari segmen berita pada umumnya.

Media cetak tak mau ketinggalan. Di samping muncul majalah dan koran hiburan baru, media dari kelas yangsudah mapan pun mulai memperluas rubrik selebriti.Alasan yang sering dikemukakan untuk membenarkan trend ini adalah publik menyukainya (dan bukankah tugas media melayani publik?).

Tapi, sebenarnya ada alasan yang sangat jelas, meski cenderung disembunyikan: uang. Pemilik televisi rinduakan rating yang identik dengan masuknya iklan,sementara media cetak kian tersudut oleh betapaefektifnya pesaing dari media elektronik menggerogotipemasang iklan tradisionalnya. Pemilik media juga pekaterhadap ongkos liputan yang mahal, sementarainfotainment bisa diproduksi sangat murah dengankualitas liputan yang longgar dan dilakukan olehwartawan yang tidak paham (atau tidak peduli) padakode etik jurnalistik.

Parto atau Nicky Astria mungkin layak memperoleh simpati sebagai korban agresi wartawan infotainment yang mencabik privasi mereka. Tapi, korban sebenarnya dari obsesi media terhadap infotainment adalah publik,pemirsa dan pembaca.

Mabuk infotainment sekarang ini menyorongkan setidaknya dua pertanyaan penting: Benarkah infotainment akan menyelamatkan media secara bisnis,terutama dalam jangka panjang? Apa harga sosial yangharus dibayar oleh publik untuk memuaskan keuntungan pemilik media?

Situasi industri media di Indonesia seperti ini sebenarnya tidak unik. Dalam dua tahun ini kitasebenarnya sedang meniru trend yang sudah berlangsung dalam industri media di Amerika selama dua dasawars aterakhir. Dipicu ketatnya persaingan serta dihadapkan fakta menurunnya jumlah pembaca dan pemirsa secaratotal, media di Amerika mengadopsi secara masif resepbaru: infotainment, berita sensasional selebriti, tayangan mistis, paranormal, reality show, dan dosis tinggi berita kriminal—-persis seperti yang sedang terjadi di sini.
Tapi, mereka yang beranggapan semua itu merupakan resep mujarab keberlangsungan hidup industri media nampaknya perlu melihat studi serius yang dilakukan Thomas Patterson, seorang profesor media dan politikdari Universitas Harvard.

Patterson mengkaji 5.000 berita dari dua jaringan televisi, tiga koran nasional utama dan 26 koran lokal selama 20 tahun terakhir (1980-2000), serta memilah berita itu dalam dua kategori: "hard news" (berita keras tentang politik, kebijakan publik, perilakupejabat serta bencana dan tragedi) dan "soft news"(berita selebritis, kriminal dan mistis).

Hasilnya? Patterson menemukan peningkatan secara drastis sajian "soft news", dari hanya 35% pada1980-an menjadi 50% pada peralihan abad ini. Pada saat yang sama, Patterson menemukan bahwa obsesi media kepada "soft news" justru telah menggerogoti makin jauh minat orang pada berita secara keseluruhan.Lebih banyak orang, menurut studi itu, justru sesungguhnya menginginkan berita yang mengandung "kepentingan publik" -jumlah mereka naik dari 24% pada1980-an menjadi 63% pada 2000.

Studi ini juga menunjukkan bahwa sekitar 50% orang yang menyukai liputan publik punya kecenderungan paling loyal terhadap segmen berita, namun sekaligus paling kecewa dengan trend pemberitaan media-massayang didominasi infotainment. Dengan kata lain, "softjournalism" sebenarnya sedang mengerogoti kredibilitas total media sendiri.

Studi Patterson menunjukkan dengan telak betapa media telah serampangan mendifinisikan apa yang dimau publik, lebih khusus lagi tentang apa yang berguna untuk publik. Riset pemasaran yang menunjukkan besarnya antusiasme orang terhadap infotainment mungkin benar, tapi itu hanya bersifat jangka pendek. Dalam jangka panjang, menurut Patterson, media sedang mengebiri minat orang terhadap berita secara keseluruhan—-padahal berita adalah salah satu alasan terpenting kenapa media hidup dan layak disebut pilar keempat demokrasi.

Berita bermutu yang dihasilkan oleh "hard journalism"secara tradisional dipandang sangat penting bagi demokrasi yang sehat: warga negara memahami persoalandan ikut terlibat dalam pengambilan keputusan. "Softjournalism" sebaliknya mengalihkan perhatian orang dari persoalan publik yang esensial, dan meneruskan trend depolitisiasi secara massif.

Menulis laporannya dengan judul The American Democracy(McGraw-Hill, 2001), Patterson menyimpulkan bahwa infotainment telah memperlemah kualitas demokrasi Amerika. Kesimpulan itu mendukung tesis Paul Kennedy, profesor sejarah Harvard, yang melihat televisi sebagai salah satu penyumbang penting budaya trivial(remeh-temeh) yang menggerogoti posisi Amerika sebagai adikuasa dunia.

Kita di luar Amerika, misalnya, kini menyaksikan betapa berbahayanya petualangan yang dilakukan Presiden Geroge W. Bush: bagaimana dia berbohong tentang Irak, dan bagaimana dia menggunakan pajak rakyat untuk menggenjot pesta-pora industri militer.Tapi, apakah mayoritas publik Amerika sebenarnya tahu apa yang dilakukan presidennya di pojok dunia lain?

Ironisnya, pada saat yang sama kita di Indonesia sedang meniru kerusakan serupa, bahkan dengan laju lebih cepat. Dan kita memang terutama ahli dalam meniru hal-hal buruk dari Amerika, seraya mengabaikan warisan positif peradaban Amerika yang sebenarnya bisakita manfaatkan untuk mengejar ketertinggalan di berbagai bidang

Akhir kata, Parto dan Nicky mungkin layak beroleh simpati. Tapi, dalam renungan lebih jauh, hal yang potensial paling merusak sebenarnya bukanlah perilaku brutal wartawan infotainment, tapi format infotainment itu sendiri yang diagungkan sebagai nyawa industri media.

Walhasil, dengan egoismenya yang melambung, media tak hanya sedang mengkhianati publik yang memberi mereka fasilitas umum seperti lisensi untuk frekuensi radioatau televisi. Media bahkan sedang menafikan basis eksistensinya sendiri, yakni kepentingan publik,sebuah alasan kenapa media diberi jimat sapujagat" kebebasan berekspresi".

No comments: